Filologi: Perkembangan Kajian dan Solusi Polemik Keagamaan

Pemikiran dan intelektualisme Islam di Indonesia khususnya yang dilestarikan oleh manuskrip-manuskrip di Indonesia merupakan sebuah legacy yang tetap relevan hingga saat ini. Ortodoksi Islam Wasathiyah sejak abad ke- 16 menurut Azyumardi Azra adalah salah satu buktinya. Potret Islam Wasathiyah tersebut diwariskan dalam bentuk karya tulis oleh para ulama Indonesia terdahulu seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Abdurrauf As-Singkili, Mahfudz At-Termasi, Khatib al-Minangkabawi, dan masih banyak lagi. Patut kita duga bahwa karya tulis mereka adalah salah satu pintu membuka fakta Islam di Indonesia dan dialektikanya dengan sosial budaya pada masanya.

Sebagai contoh adalah sikap wasathiyah Ibrahim al-Kurani dalam karyanya Ithaf Adz-Dzaki kala mengomentari perdebatan pro dan kontra wahdatul wujud. Sebagaimana disebutkan dalam channel Youtube Ngariksa episode ke- 26, sikap tidak menghujat menjadi sebuah teladan yang patut dicontoh dari seorang al-Kurani. Meski ia memiliki kecenderungan pada pendapat tertentu, namun ia tidak lantas menganggap sesat, menghujat, atau bahkan mengkafirkan kelompok lain.

Relevansi pemikiran Islam tersebut sayangnya belum disertai dengan gelora para peneliti kajian keislaman di Indonesia, khususnya di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Para peneliti di PTKIN saat ini justru lebih tergiur mengimpor teori-teori dari luar dalam mengkaji berbagai bidang keislaman. Pendekatan penelitian maupun teori-teori dari Barat kini menjamur dan dapat dijumpai dalam kajian pendidikan Islam di Indonesia, Hukum Islam, Tafsir, dan lain sebagainya.

Perkembangan Kajian Filologi di PTKIN

Agaknya upaya pengembangan khazanah pemikiran ulama Indonesia terdahulu kurang mendapat perhatian para peneliti di berbagai kajian keislaman. Fakta ini mengimplikasikan kurangnya perhatian terhadap penelitian manuskrip ulama Indonesia terdahulu, khususnya penelitian filologi. Padahal jika dikaitkan dengan istilah “keagamaan” dalam kata singkatan PTKIN, maka kajian Islam yang dilakukan seharusnya tidak hanya diarahkan kepada doktrin-ajaran, tetapi juga diarahkan kepada konteks sosial budaya orisinal. Sehingga jelas posisi filologi menempati peran penting dalam hal ini. Dan tidak berlebihan rasanya, jika kompetensi filologi adalah sebuah darma bagi para peneliti PTKIN.

Adalah Oman Fathurahman guru besar bidang filologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta seorang pelopor kajian filologi Nusantara. Ia berhasil membawa filologi yang tidak hanya sekadar membaca naskah kuno. Tetapi ia mampu membawa filologi berinteraksi dengan konteks kekinian. Sehingga apa yang disebut-sebut penulis mengenai relevansi pemikiran intelektual muslim Indonesia di masa lampau yang tertuang dalam teks kuno, telah diwujudkan secara nyata oleh Oman melalui berbagai penelitiannya.

Integrasi filologi dengan kajian Islam khususnya di Indonesia, merupakan suatu perkembangan penelitian filologi di lingkungan PTKIN yang tentu cukup menggembirakan. Sebab, penelitian filologi menjadi semakin berwarna. Lahan filologi yang dulu dianggap kering, kini begitu subur oleh integrasi keislaman dan kontekstualisasi sosial budaya masa kini. Filologi kini bertransformasi menjadi sebuah ilmu yang dapat digunakan untuk menggali khazanah keislaman di Indonesia pada masanya. Profit yang ditawarkan kajian filologi terhadap naskah-naskah keislaman di Nusantara tidak hanya menawarkan konten ajaran Islam. Melainkan kita juga dapat memperoleh informasi seputar konteks sosial budaya pada saat itu.

Filologi dan Islam Nusantara: Solusi Polemik Keagamaan

Mempelajari khazanah Islam Indonesia yang bersumber dari naskah kuno melalui filologi artinya menggali Islam khas Indonesia. Literatur Islam Indonesia pun sangat ramah bagi para pembacanya. Sebab, literatur-literatur ini tidak semuanya berbahasa Arab. Aktivitas vernakularisasi telah banyak dilakukan oleh ulama Indonesia terdahulu. Sehingga konsep-konsep ajaran Islam mudah dipahami oleh berbagai suku, ras, dan budaya di Indonesia. Ini merupakan bukti kreativitas mereka dengan membawa ajaran Islam dalam bahasa lokal (vernakuler). Maka dapat kita jumpai ajaran Islam yang termuat dalam berbagai hasil karya berbahasa jawa, sunda, melayu, bugis, dan lain sebagainya.

Semakin banyak literatur Islam Indonesia yang dipelajariberbanding lurus dengan semakin tingginya rasa bangga terhadap budaya sendiri. Melalui filologi kita juga mendapatkan ajaran Islam yang mampu bersinergi dengan sosial, budaya, dan kultur keindonesiaan. Tentu hal ini sejalan dengan apa yang disebut sebagai Islam Nusantara.

Mempelajari Islam bukan berarti harus menanggalkan identitas kebudayaan lokal. Penggabuangan nilai-nilai teologis Islam dan nilai-nilai sosial, budaya, dan kultur akan menghasilkan masyarakat muslim Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam dan disertai dengan kecintaan terhadap tanah air. Barangkali atmosfer seperti ini yang sesungguhnya mampu meredam polemik keagamaan.

Kedamaian Islam di Indonesia sesunguhnya merupakan hasil dari pertautan antara teologi Islam dengan nilai-nilai sosial budaya setempat. Konflik perpecahan dan pertumpahan darah di negara-negara Islam wilayah timur tengah salah satunya diakibatkan oleh nihilnya pertautan ini. Maka yang muncul adalah fanatisme terhadap madzahab tertentu yang menghasilkan konflik hasrat perebutan kekuasaan tanpa didasari kecintaan terhadap tanah air mereka.

Oleh karena itu, filologi memainkan peran yang krusial khususnya bagi masyarakat milenial Indonesia agar menyadari bahwa Islam khas Indonesia yang bertautan dengan sosial budaya adalah sebuah warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Sayangnya, pada masa kini suara-suara yang membenturkan sosial budaya Indonesia dengan Islam cukup nyaring terdengar. Amat disayangkan jika milenial Indonesia tidak menyadari bahwa filologi sejatinya kunci membuka kajian Islam khas Indonesia yang relevan dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan berbudaya Indonesia. Sementara, upaya membumikan naskah-naskah kuno Indonesia yang sangat akrab dengan khazanah pemikiran Islam sudah amat mudah dijumpai dalam bentuk digital. Kesulitan akses terhadap naskah kuno kini bukan lagi menjadi alasan untuk menutup mata dalam mempelajari khazanah Islam Indonesia. Sebab, digitalisasi manuskrip telah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga. Sebut saja DREAMSEA, EAP the British Library, hingga Perpustakaan Nasional sangat dermawan dalam menyajikan khazanah Islam Indonesia yang tersaji dalam digitalisasi manuskrip-manuskrip kuno. Kemudahan akses yang ditawarkan lembaga-lembaga tersebut hasilnya adalah sebuah paket mendekatkan filologi, Islam, sosial budaya Indonesia, dan cinta tanah air.

Tinggalkan komentar